oleh

Carut Marut Pilhut di Minsel, Salah Siapa?

Amurang – Sejak empat tahun lalu Minahasa Selatan (Minsel) tidak melaksanakan Pemilihan hukum tua (Pilhut). Menjadi pertanyaan, apa yang menjadi latar sehingga Pemkab Minsel ngotot tidak melaksankan Pilhut? Sedangkan selain ‘mengebiri’ hak demokrasi warga desa, juga menghianati budaya Minahasa.

Tidak dilaksanakannya Pilhut serentak, Pemkab Minsel menyampaikan sejumlah alasan. Seperti dituturkan oleh Sekda Denny Kaawoan pada tahun lalu, Pemkab tidak memiliki anggaran yang cukup. Pemkab juga sempat berkelit dengan adanya ajang Pileg dan Pilpres. Bila ini menjadi alasan, mengapa di tahun 2017 dan 2018 tidak dilaksanakan? Dan menyangkut ketiadaan anggaran juga dianggap tidak tepat, sebab tiap tahun APBD Minsel mencapai satu triliun.

Kalaupun Pemkab tak miliki anggaran meski cukup menjadi tanda tanya, Pemerintah desa (Pemdes) memiliki kemampuan untuk menganggarkan lewat APBDes. Bahkan diketahui sejumlah desa sudah pernah menganggarkan.

Tidak dilaksanakannya Pilhut karena ketiadaan anggaran juga menarik perhatian Gubernur Sulut Olly Dondokambey. Demi terselenggaranya Pilhut, Gubernur menyatakan siap memberikan hibah anggaran ke Pemkab Minsel. Namun sayangnya tawaran bantuan tidak mendapat respon yang baik.
Dengan tidak dilaksanakannya Pilhut, maka lebih dari 120 Desa dipimpin oleh Penjabat Kumtua berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dilantik oleh Bupati definitif Christiany Euginia Paruntu. Tak pelak pemerintahan desa di Minsel yang seharusnya menganut sistem otonomi, kini berada sepenuhnya di bawah pemerintahan kabupaten.

Dikebirinya hak demokrasi desa membuat mantan-mantan Kumtua angkat bicara. Mereka merasa tidak dilaksanakannya Pilhut lebih pada faktor kesengajaan. Karena bila hanya karena anggaran, tidak tepat. Bila Pemkab tidak mampu maka dapat dianggarkan lewat APBDes dan sejumlah desa diketahui sudah menganggarkannya.

“Sangat disesali dengan tidak bersedianya Pemkab Minsel melaksanakan Pilhut. Apa yang menjadi landasan kebijakan ini juga tepat. Harusnya Pemkab dapat lebih jujur mengapa tidak melaksanakan. Jangan sampai ini karena ada kepentingan politik yakni Pileg dan Pilkada. Sedangkan yang dikorbankan adalah hak rakyat dalam menjalankan demokrasi,” ujar mantan Kumtua Motoling, Meidy Tambuwun.

Dia juga mempertanyakan penyusunan APBDes yang harus parameter salah satunya misi dan visi Kumtua saat pencalonan. Sedangkan penjabat Kumtua tidak memiliki visi dan misi. Sehingga ada desa yang berjalan melaksanakan pembangunan tanpa memiliki dasar kuat.

“Ini jelas akan menjadi masalah besar dan ini sudah terbukti di lapangan. Kan tugas pejabat atau Plt Kuntua tugas utamanya melaksanakan Pilhut sambil mengisi kekosongan pemerintahan sementara. Sehingga dapat dikatakan Plt Kumtua yang ada tidak memiliki kemampuan. Masakkan melaksanakan Pilhut tidak mampu. Maka sudah sewajarnya diganti dengan yang lebih mampu,” terangnya.

Kebijakan yang diambil oleh Penjabat sementara (Pjs) Bupati Minsel Meiki Onibala melakukan penggantian Plt Kumtua sudah tepat. “Harusnya semua Plt Kumtua diganti, alasannya jalas karena mereka tidak mampu menjalankan tugas utama yakni menyelenggarakan Pilhut. Ini pastinya vatal, maka memang harus diganti pada mereka yang mampu. Kami juga memintakan agar 2021 dianggarkan dana Pilhut di APBD,” pungkasnya.(nov)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *