Barometer.co.id-Jakarta. Pelaksana harian (Plh) Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh menilai penolakan pendirian sekolah Kristen oleh sekelompok masyarakat Muslim di Parepare, Sulawesi Selatan, mencederai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Alasannya, kata dia, setiap warga negara Indonesia seharusnya bebas mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama yang telah diakui, selama memenuhi persyaratan administratif yang berlaku.

“Peristiwa ini merupakan tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas orang Indonesia,” kata Siti dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Kamis.

Terkait dengan izin mendirikan sekolah keagamaan, Pemerintah Indonesia telah memiliki banyak regulasi dalam sistem pendidikan nasional, yang juga meliputi lembaga pendidikan berbasis keagamaan.

Siti menjelaskan dalam regulasi sistem pendidikan nasional telah ditegaskan bahwa sekolah keagamaan sebagai bagian dari sekolah swasta, juga berhak untuk didirikan jika telah memenuhi izin yang disyaratkan.

Artinya, menurut dia, penolakan pendirian sekolah Kristen di Parepare, Sulawesi Selatan, oleh sebagian masyarakat merupakan penolakan yang tidak berdasar secara hukum.

“Tentu penolakan ini tidak sesuai dengan konstitusi dan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Terlebih lagi, perlu diingat juga bahwa Indonesia merupakan negara yang berdemokrasi,” ucap dia.

Dia pun menyoroti gagalnya sebagian kelompok masyarakat dalam memahami esensi ajaran agama masing-masing, yang sejatinya membawa manfaat bagi seluruh makhluk hidup, apa pun latar belakangnya, namun justru menjadi alat untuk melakukan persekusi dan melegitimasi tindak kekerasan pada kelompok lain yang dianggap sebagai lawan.

Bagi Siti, orang-orang yang menggunakan kekerasan dan memaksakan simbol agama mereka terhadap kelompok yang berbeda dengannya merupakan orang-orang yang perlu dikasihani.

Orang-orang yang cenderung intoleran, sambung dia, biasanya tidak memiliki informasi yang luas, beragam, dan kaya dalam menyikapi perbedaan dalam hidup bermasyarakat.

“Seandainya setiap orang memiliki informasi yang cukup, tentunya mereka akan lebih terbuka terhadap perbedaan dan lebih toleran dibandingkan sebelumnya,” ujarnya.

Kendati demikian dalam memelihara semangat pluralitas pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dirinya menekankan hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah.

“Masyarakatnya juga perlu kooperatif dengan mendukung kebijakan, regulasi, atau program yang memperkuat dialog antaragama atau keyakinan,” ungkap Siti.

Di sisi lain, dia berharap agar masyarakat Indonesia meningkatkan minat baca serta memanfaatkan media digital secara bijak dan produktif, seiring dengan media digital yang kini telah menjadi bagian fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan tidak terhindarkan.

Meningkatnya minat baca dan literasi masyarakat, menurut dia, secara otomatis akan menjadi solusi bagi intoleransi yang terjadi di tatanan akar rumput.(ANTARA)