Barometer.co.id-Manado. Perubahan iklim yang antara lain disebabkan oleh kenaikan emisi karbon berpotensi mengganggu stabilitas moneter dan keuangan. Untuk itu, negara-negara di dunia termasuk Indonesia saat ini telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara ikut ambil bagian dalam komitmen tersebut dengan mendorong ekonomi yang berkelanjutan dengan investasi hijau di daerah ini.
Dalam kaitan tersebut dan untuk memperkuat ekonomi, Kantor Bank Indonesia Sulawesi Utara bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menggelar North Sulawesi Investment Forum (NSIF) tahun 2022 yang diikuti oleh lebih dari 200 peserta dari berbagai instansi dan investor selama dua hari, 15-16 Agustus 2022.
Kegiatan ini dibuka oleh Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, SE dan dihadiri oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo, – Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM RI, Nurul Ichwan, SE. MM, Ketua DPRD Sulut, dr Fransiscus Andi Silangen SpB KBD, Pj. Sekdaprov Sulut, Dr. Praseno Hadi SE., MM, Kepala Perwakilan BI Provinsi Sulut, Arbonas Hutabarat dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Franky Manumpil.
Sementara peserta terdiri dari Investor PMA dan PMDN, Pelaku UMKM, unsur Perbankan, Kadin, APINDO, PHRI, Aprindo, Perwakilan Lembaga dan Asosiasi dan Akademisi. Hadir juga unsur perangkat Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten/kota di Sulawesi Utara.
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, SE menyampaikan, pihaknya akan mendorong investor yang akan berinvestasi di daerah ini untuk menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT). Apalagi Sulawesi Utara memiliki potensi EBT yang sangat banyak.
“Sulawesi Utara memilii banyak potensi Energi Baru Terbarukan, seperti air, tenaga surya, panas bumi. Saat ini pun di Sulawesi Utara telah memiliki sejumlah pembangkit listrik EBT, yaitu PLTA, PLTS dan PLTP,” kata Olly.
Ke depan menurut Olly pihaknya akan terus mendorong agar EBT di Sulut dapat berjalan dengan baik. “Ke depan kita sangat membutuhkan EBT. Apalagi saat ini di Bolaang Mongondow tengah dipersiapkan Kawasan Industri Mongondow yang membutuhkan energi yang besar,” ujarnya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo dalam pemaparannya menekanakan sustainable finance. Menurutnya, Sustainable Finance merupakan isu yang pembahasannya terus menghangat mengingat urgensi untuk melaksanakan komitmen dalam pengendalian kerusakan iklim karena adanya kemungkinan dampak yang lebih parah kepada kehidupan sosial dan perekonomian bila tidak segera ditangani lebih lanjut.
“Bagi banyak negara, terutama yang bergantung pada energi berbasis fosil seperti halnya Indonesia, kita memahami betul bahwa tindakan mitigasi perubahan iklim bukanlah langkah yang mudah, karena ketergantungan kita yang tinggi kepada sumber energi dan ekspor komoditas mineral. Meski demikian, ke depan tuntutan global atas penerapan standard ekonomi hijau dan keuangan berlanjutan akan semakin tinggi, dan bagi negara yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut akan terekspos beberapa tantangan baru, sebagai contoh tambahan pajak karbon untuk produk ekspor dan pengenaan biaya modal yang lebih mahal bagi entitas industri yang tinggi karbon,” katanya.
Di sisi lain menurut Dody, perubahan iklim juga membawa risiko tersendiri secara makro bagi perekonomian. Kenaikan emisi karbon telah mendorong kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan perubahan iklim yang berpotensi mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan. Posisi geografis Indonesia dengan kepulauan yang terletak di “ring of fire”, mengakibatkan Indonesia terekspos risiko perubahan iklim yang lebih tinggi jika dibandingkan banyak negara lain.
“Saat ini, biaya akibat cuaca ekstrim di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp100 Triliun per tahun. Biaya ini diprakirakan akan terus tumbuh secara eksponensial akibat semakin ekstrimnya cuaca di masa depan. Apabila kita tidak melakukan tambahan aksi mitigasi, biaya akibat cuaca ekstrim pada 2050 diprakirakan dapat mencapai 40% dari PDB,” jelas Dody.
Ia pun mengatakan, guna mengantisipasi berbagai tantangan dan pemasalahan tersebut, para pemangku kepentingan perlu mengidentifikasi lebih lanjut potensi investasi hijau untuk sektor-sektor ekonomi yang potensial di daerah, serta sektor eksisting lainnya untuk bertransisi menuju ekonomi hijau.
Dalam hal ini otoritas dan pelaku pasar keuangan telah mengembangkan berbagai pendekatan dan alat untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan menyelaraskan investasi berkelanjutan yang berorientasi pada proyek-proyek hijau untuk dipedomani, baik itu dalam bentuk taksonomi keuangan hijau, maupun kalkulator jejak karbon nasional
“Bank Indonesia dalam hal ini telah aktif melakukan inisiatif hijau sejak sepuluh tahun yang lalu. Inisiatif ini dilakukan Bank Indonesia dengan bekerjasama dengan berbagai pihak di dalam negeri khususnya Kementerian dan Otoritas seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), OJK, hingga beberapa forum keuangan hijau di luar negeri seperti Network for Greening Financial System (NGFS),” kata Dody.
Pada inisiatif kebijakan, Bank Indonesia telah menerbitkan kebijakan Green LTV bagi properti dan kendaraan berwawasan lingkungan. Sementara itu, pada sisi internal BI melakukan inisiatif seperti pengalokasian investasi berkelanjutan dalam bentuk penempatan portofolio cadangan devisa hijau.
Dody mengatakan, ke depan, Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan kebijakan keuangan hijau yang salah satunya ditujukan untuk memitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Penguatan-penguatan akan dilakukan antara lain melalui kebijakan makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, pengembangan ekonomi dan keuangan inklusif, hingga transformasi kelembagaan Bank Indonesia yang keseluruhannya memperhatikan lingkungan.
Adapun dalam penguatan dan implementasinya, Bank Indonesia akan terus bersinergi dan melakukan koordinasi erat dengan KSSK, Kementerian/Lembaga, dan stakeholders terkait.(jm)