Barometer.co.id-Jakarta. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo menetapkan Peraturan Dirjen Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti yang Diterima Oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Peraturan tersebut mengatur bahwa atas penghasilan royalti yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) pengguna NPPN, yakni WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4,8 miliar, dikenai pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dengan dasar pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto penghasilan royalti tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan kata lain, tarif efektif pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan royalti yang diterima WP OP pengguna NPPN adalah sebesar 6% dari jumlah bruto royalti atau turun dari sebelumnya yaitu 15%. Latar belakang peraturan ini adalah untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi WP OP pengguna NPPN yang menerima royalti.
“Selain penurunan tarif efektif, kemudahan dan kepastian hukum tersebut berupa kemungkinan untuk tidak menjalani administrasi pemeriksaan restitusi atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya yang selama ini cenderung lebih bayar,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti.
Lebih lanjut, Dwi menyimulasikan penghitungan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa royalti yang diterima oleh WP OP NPPN.
Tabel di atas adalah contoh WP OP pengguna NPPN dengan norma 50% menerima royalti dan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% atas keseluruhan jumlah bruto royalti. Contoh tersebut menunjukkan bahwa WP OP cenderung akan lebih bayar pada saat melaporkan SPT.
Tahunan. SPT Tahunan dengan status lebih bayar berhak untuk menerima pengembalian pajak yang telah dibayarkan (restitusi), namun harus melalui mekanisme pemeriksaan sesuai pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Jangka waktu pemeriksaan lebih bayar paling lama 12 bulan.
“Dengan adanya penurunan tarif efektif tersebut sekaligus menjadi quickwin pelayanan yang lebih baik dan mengurangi cost of compliance dari wajib pajak karena SPT Tahunan wajib pajak menjadi tidak selalu lebih bayar,” pungkas Dwi. Dapatkan informasi seputar perpajakan di laman landas www.pajak.go.id.(jm)