Barometer.co.id-Manado. Inovasi dilakukan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Lahendong, Sulawesi Utara dalam mengelola lingkungan di sekitar Pembangkit yang dikelolanya. Bersama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, endapan silika yang merupakan produk samping dari proses produksi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong, diolah menjadi pupuk dan booster yang dinamakan Katrili.

Penggunaan pupuk dan booster Katrili ini sudah dilakukan uji coba pada tanaman tomat di demplot yang terletak di Desa Tonsewer Selatan, Kecamatan Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa. Lokasinya hanya berjarak 1-2 km dari PLTP Lahendong Unit 5 & 6. Seremoni panen perdana dilakukan pada Kamis, 31 Oktober 2024.

PGE Lahendong merupakan perusahaan yang mengelola panas bumi menjadi energi listrik dan ramah lingkungan. PGE Lahendong menyuplai panas bumi berupa uap panas dan air panas ke enam unit PLTP Lahendong, di mana unit 1-4 dioperasikan oleh PLN, sedangkan unit 5 dan 6 dioperasikan langsung oleh PGE Area Lahendong. Endapan silika di PLTP Lahendong unit 5 dan 6 inilah yang diolah menjadi pupuk dan booster.

PLTP Lahendong unit 5 & 6 berada di Desa Talikuran, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Jaraknya sekitar 50 km sebelah selatan Kota Manado, Ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Perjalanan dari Kota Manado ke lokasi ini memakan waktu kurang lebih 1,5 jam.

General Manager PT PGE Area Lahendong, Albertus Novi Purwono mengatakan, panas bumi di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Lahendong memang terdiri dari uap panas dan air panas. Hal ini berbeda dengan panas bumi di tempat lain, di Kamojang, Jawa Barat misalnya yang hanya berupa uap panas saja.

Dalam proses mengalirkan uap panas dan air panas dari perut bumi ke pembangkit, fluida panas bumi menyisakan endapan silika yang menempel pada pipa maupun di saluran. Endapan tersebut secara berkala dibersihkan dan dikeluarkan dari pipa-pipa maupun saluran. Pembersihan dilakukan agar proses pengaliran uap dan air panas ke pembangkit berjalan lancar sehingga produksi listrik terjaga.

“Endapan silika yang merupakan produk samping di PLTP Lahendong ini kemudian diolah menjadi pupuk dan booster untuk tanaman. Karena ternyata dari hasil penelitian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, endapan silika ini memiliki banyak unsur hara seperti abu vulkanik. Kita ketahui bersama, abu vulkanik dari gunung berapi dapat membuat tanah menjadi subur,” kata Purwono saat ditemui Barometer.co.id di kantornya, di Kota Tomohon, Sulawesi Utara.

Tomat hasil pupuk Katrili. (foto: barometer.co.id)

Dengan adanya pupuk dan booster Katrili ini, maka menurutnya, petani tidak perlu menunggu abu vulkanik dari gunung berapi yang meletus untuk menyuburkan tanah perkebunan mereka. Sudah ada produk yang dihasilkan dari fluida panas bumi yang dikelola oleh PGE Lahendong. Selain itu, dengan memanfaatkan endapan silika ini, maka PGE Lahendong sekaligus ikut menjaga lingkungan karena tidak ada yang tersisa dari proses produksi listrik.

“PGE Lahendong sebagai perusahaan yang bergerak di bidang energi bersih memang mendapat mandat dari pemerintah untuk mewujudkan swasembada energi. Tetapi di sisi lain, kami juga mempunyai fokus beyond electricity. Kami mempunyai misi bagaimana kita memanfaatkan panas bumi tidak sekedar uap dan listrik saja namun lebih dari pada itu. Dan inovasi dalam membuat pupuk dan booster dari endapan silika ini semoga dapat mendukung swasembada pangan melalui ketersediaan pupuk yang terjangkau dan berkualitas,” ujarnya.

Ia mengatakan, apa yang dilakukan ini tidak terlepas dari keinginan PGE Lahendong untuk memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. “Sebab yang pasti, masyarakat yang ada di sekitar kami harus memperoleh manfaat dari pupuk Katrili ini,” katanya.

PGE Lahendong memang tidak sendiri dalam membuat pupuk dan booster Katrili ini. Ada peran besar peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang mewujudkannya. Endapan silika ini diteliti oleh Tim Peneliti Pusat Penelitian Panas Bumi Fakultas Teknik UGM yaitu yaitu Ir. Pri Utami MSc, PhD, IPM, Dr. Rer Nat Ronny Martien, MSi, Teguh Triyana, STP dan Muhammad Fatih Fauzi.

Penelitian terhadap endapan silika ini awalnya dilakukan oleh Pri Utami pada tahun 2020 saat terjadi pandemi. “Pada tahun 2020 saat pandemi, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi lapangan Lahendong (PLTP Lahendong). Dan pada kesempatan tersebut saya berhasil mendapatkan sample endapan silika,” katanya menceritakan awal mula penelitian ini dilakukan.

Ia kemudian melakukan penelitian terhadap sample tersebut di laboratorium. “Dalam bayangan saya, silika isinya SiO2. Saya penasaran, kemudian saya analisis di laboratorium. Bahkan dikirim juga ke laboratorium di luar negeri. Ternyata kandungannya bukan hanya silika. Ada sekitar 60 unsur hara sehingga menyerupai abu vulkanik,” jelasnya.

General Manager PT PGE Area Lahendong, Albertus Novi Purwono (tengah), Ir. Pri Utami MSc, PhD, IPM, (kiri) dan Dr. Rer Nat Ronny Martien, MSi (kanan). (foto: barometer.co.id)

Pri kemudian membandingkan endapan silika tersebut dengan abu vulkanik Gunung Lokon yang berada di Kota Tomohon, serta beberapa gunung lain di Indonesia Timur dan hasilnya kurang lebih sama. “Setelah itu, saya kemudian bertemu dengan rekan-rekan dari fakultas lain di UGM. Saya bertemu dengan Doktor Ronny Martien yang langsung menyambut gembira. Pak Ronny kemudian yang mengolah endapan silika ini dengan menggunakan teknologi nano,”  lanjut Pri.

Ia pun berharap, hal ini dapat menjadi contoh sinergi yang baik antara upaya membuat ketahanan energi menggunakan energi bersih dan hijau geothermal yang dikelola PGE Lahendong, dengan ketahanan pangan melalui tersedianya pupuk Katrili ini.

Pri mengatakan, ia pernah bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan pada Kabinet Indonesia Maju dan kembali menjabat posisi yang sama pada kabinet Merah Putih, Suahasil Nazara dan menyampaikan rencana ini.

“Beliau mengatakan, pemerintah sudah habis-habisan mengeluarkan dana untuk subsidi pupuk. Jadi pupuk yang berasal dari geothermal musti jadi. Dan itu berarti kita akan menghemat devisa negara. Pupuk dari Geothermal juga akan menjadi pupuk yang hijau karena proses produksinya juga hijau. Dan mudah-mudah nantinya bisa diproses dengan tenaga panas bumi sehingga semakin hijau,” katanya.

Ronny Martien mengatakan, dari penelitian terhadap endapan silika fluida panas bumi ini memang ditemukan kandungan 60 unsur hara sama seperti abu vulkanik. “Karena memiliki kandungan 60 unsur hara yang sama dengan abu vulkanik, maka endapan silika ini dapat dijadikan bahan baku untuk membuat pupuk dan booster. Kami mengolahnya dengan menggunakan teknologi nano dan dicampur dengan kitosan yakni cangkang udang,” katanya kepada Barometer.co.id.

Pupuk ini menurut Martien, selain untuk menyuburkan, juga dapat melindungi tanaman dari hama. Sebab kandungan silika yang terdapat pada pupuk ini akan melapisi tanaman dan memproteksinya dari serangan hama. “Dengan demikian, penggunaan pestisida untuk membasmi hama akan berkurang, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih sehat,” jelasnya.

Martien mengatakan, dari hasil penelitian juga tidak ditemukan adanya kandungan logam berat pada endapan tersebut sehingga aman untuk digunakan sebagai pupuk. Dan tanaman yang menggunakan pupuk ini juga aman dikonsumsi. Bahkan dapat langsung dikonsumsi tanpa perlu dimasak terlebih dahulu.

“Penggunaan pupuk dan booster Katrili ini adalah dengan cara menyiram di bawah tanaman dan menyemprotnya di tubuh tanaman secara bersamaan,” katanya.

Sebagai ujicoba, pupuk katrili ini digunakan pada tanaman tomat di demplot yang dikelola oleh dua denominasi gereja di Desa Tonsewer Selatan, yaitu Pria Kaum Bapak (PKB) GMIM dan PKB KGPM. Lokasi demplot ini hanya berjarak sekitar 1-2 km dari PLTP Lahendong unit 5 & 6.

Ketua PKB KGPM Tonsewer Selatan yang sekaligus menjadi ketua kelompok pada program ini, Sony Rori mengatakan, tanaman tomat yang menggunakan pupuk dan booster Katrili memiliki pertumbuhan yang bagus. Hanya saja kendala yang dihadapi saat menanam adalah kurangnya curah hujan. Walaupun demikian, tomat yang dipanen memiliki kualitas yang baik.

“Tanaman tomat di Demplot ini menggunakan bibit tomat Gustavi. Jenis tomat ini biasanya memiliki buah yang kecil dibandingkan dengan bibit tomat servo. Namun dengan menggunakan pupuk Katrili, buah tomat Gustavi justru lebih besar,” katanya.

Sony mengatakan, tanah di perkebunan mereka berada di dekat Gunung Soputan yang masih aktif. Jaraknya hanya sekitar 6-8 km. Saat Gunung Soputan meletus, memang sempat membuat kerusakan tanaman. Namun setelah itu, tanah di sini menjadi sangat subur. “Jadi dengan adanya pupuk Katrili ini, kami tidak perlu menunggu Gunung Soputan meletus untuk membuat tanah di perkebunan kami jadi subur,” katanya.

Hal yang sama disampaikan Ketua PKB GMIM, Ricko Mea. Bahkan menurutnya, pihak penyalur pupuk maupun pedagang yang biasa membeli tomat mereka sempat menanyakan pupuk apa yang dipakai sehingga hasilnya bagus.

“Kami juga sudah pernah mengirim tomat hasil panen sebelumnya ke Timika, Papua. Dengan lama perjalanan sekitar tujuh hari, biasanya sampai di sana, sebagian tomat sudah membusuk. Namun untuk tomat dengan pupuk Katrili ini kualitasnya masih bagus. Pedagang di sana menghubungi kami dan mengatakan kalau tomat yang mereka terima masih dalam keadaan baik dan tidak ada yang rusak,” katanya.

Para petani di Desa Tonsewer Selatan dan sekitarnya pun berharap bisa terus mendapatkan pupuk Katrili untuk meningkatkan produktivitas pertanian mereka. Selain itu, mereka juga berharap pupuk Katrili ini dapat digunakan untuk tanaman lain seperti bawang, cabai dan tanaman lainnya.

Terkait kelanjutan produksi dan penyaluran pupuk Katrili, Purwono mengatakan akan mengusahakan agar dapat terus dilakukan. Apalagi bahan baku endapan silika akan terus ada selama PLTP Lahendong ini beroperasi. “Namun kami masih harus mengkaji dulu aturannya seperti apa, baik produksinya serta bagaimana kami nanti menyalurkannya. Namun yang pasti kami ingin program ini berkelanjutan,” katanya.

Endapan silika memang bukan merupakan limbah, apalagi yang termasuk berbahaya. Endapan silika ini merupakan produk samping dari proses mengubah panas bumi menjadi energi listrik yang bersih. Namun jika sudah menumpuk dalam jumlah yang banyak tentu akan membuat lingkungan menjadi kurang enak dipandang mata.

Sehingga dengan adanya inovasi memafaatkan endapan silika ini menjadi pupuk yang sangat dibutuhkan petani, maka hal ini tentu sangat positif, termasuk kelestarian lingkungan di area pembangkit. Lingkungan di pembangkit bersih, petani pun mendapat pupuk yang berkualitas.(jou)