Barometer.co.id-Jakarta. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia Nusron Wahid baru saja memberi penghargaan kepada 21 Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), 21 Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), dan 21 Kepala Kantor Wilayah BPN di seluruh Indonesia yang dinilai berhasil menyelesaikan konflik pertanahan di wilayah hukum masing-masing.
Penghargaan kepada institusi yang terkait dengan persoalaan pertanahan ini, tentu diharapkan akan semakin memberi motivasi dan harapan bagi penyelesaian berbagai persoalan pertanahan di Indonesia yang sangat kompleks.
Konflik tanah di Indonesia adalah masalah yang sudah lama terjadi dan mencakup berbagai aspek, seperti sengketa kepemilikan tanah, perampasan tanah oleh korporasi, penggusuran paksa, konflik karena alih fungsi lahan, dan semakin diperparah dengan maraknya mafia tanah.
Mafia tanah seringkali bekerja sama dengan oknum tertentu terutama yang punya kekuasaan untuk memalsukan dokumen, menipu pemilik lahan sah, bahkan tak jarang melakukan intimidasi guna menguasai tanah secara ilegal.
Dampak mafia tanah sangat luas, bukan hanya aspek ekonomi, tetapi aspek sosial, hukum dan bahkan lingkungan.
Dari sisi aspek ekonomi, kerugian bukan hanya dari masyarakat pemilik sah, tetapi juga negara dirugikan.
Akibat kehilangan lahan milik mereka, maka potensi timbul kemiskinan, sebab lahan yang tadinya dipergunakan untuk kegiatan bercocok tanam dan kegiatan produktif lainnya tidak ada lagi, sehingga kesejahteraan masyarakat turun.
Bagi negara, transaksi ilegal mafia tanah sering tidak terdaftar secara resmi, berakibat negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak tanah. Sselain itu, mafia tanah berupaya menghindar dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan(BPHTB) yang merupakan salah satu pembentuk pendapatan daerah yang potensial.
Sementara dari sisi sosial, adanya mafia tanah sering menjadi penyebab sengketa antar individu, keluarga ataupun masyarakat yang merasa hak atas tanah mereka dilanggar, bahkan sering berujung pada aksi kekerasan.
Dari sisi hukum, kolusi mafia tanah dengan pejabat dan aparat hukum, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem peradilan. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil, karena mafia tanah memiliki kekuatan finansial dan jaringan sehingga mudah memenangkan sengketa secara hukum.
Dampak lingkungan, kehadiran mafia tanah yang sering membuka hutan lindung, dikonversi untuk dijual atau dialihfungsikan sehingga mengancam habitat alam flora dan fauna. Dengan rusaknya hutan mengancam kepunahan spesies tumbuhan dan hewan endemik yang bergantung pada ekosistem di daerah itu.
Alih fungsi lahan yang tadinya hutan untuk menjadi kawasan properti dan komersial secara tidak terencana dengan baik, berpotensi terjadi banjir dan longsor akibat terjadi erosi tanah.
Aturan terkait pertanahan
Landasan hukum untuk mencegah dan sanksi hukum bagi mafia tanah di Indonesia sebenarnya sudah cukup lengkap dan kuat.
Landasan hukum penguasaan tanah yang pertama adalah Undang-Undang Pokok Agraria(UUPA) Nomor 5 tahun 1960. Aturan ini menjadi dasar pengaturan hak atas tanah dan menegaskan bahwa hak penguasaan tanah di Indonensia berada di bawah kekuasaan negara yang diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang ini mengatur tentang hak milik tanah dan proses sertifikasi yang menjadi dasar untuk mencegah pengambilalihan lahan secara ilegal.
Kedua, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 11 tahun 2016, tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Poin-poin yang diatur melalui peraturan ini yakni mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan termasuk selesaikan konflik, pentingnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dengan mediasi sebagai salah satu langkah awal, serta adanya administrasi yang jelas.
Ketiga, Permen ATR/BPN Nomor 18 tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kasus Pertanahan. Dalam peraturan ini menegaskan langkah-langkah penanganan dan pencegahan kasus pertanahan serta menyusun mekanisme untuk investigasi kasus mafia tanah.
Keempat, Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap(PTSL). Program ini mempercepat sertifikasi tanah di seluruh Indonesia sehingga mengurangi celah yang bisa dimanfaatkan mafia tanah. Dalam program ini sertifikat atas tanah diberikan secara gratis, terutama masyarakat kecil, guna mencegah konflik dan mafia tanah.
Kelima, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. UU ini mengatur tentang penggunaan lahan perumahan dan Kawasan permukiman secara legal, dan mafia tanah yang melanggar dengan mengalihfungsikan lahan perumahan atau pemukiman bisa dijerat hukum.
Keenam, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan Umum. Undang-undang ini mengatur mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dan mafia tanah bila memperjualbelikan tanah ini dianggap melanggar. Peraturan ini juga hendak mencegah mafia tanah menaikkan harga secara tidak wajar bila diperuntukkan untuk proyek pemerintah.
Ketujuh, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang ini mengatur perlindungan kawasan hutan dari alih fungsi lahan ilegal, sehingga mafia tanah yang mengubah menjadi kawasan komersial atau pertanian tanpa izin resmi dapat dijerat dengan sanksi berat, demikian juga yang mencoba memanipulasi status hutan lindung atau konversi bisa ditindak.
Berikutnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) pasal 263,264 dan 266. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa mereka yang melakukan pemalsuan dokumen demikian juga dengan penipuan dan penggelapan terkait kepemilikan tanah.
Upaya pemberantasan mafia tanah semakin masif dengan adanya penandatanganan kerja sama antara Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terkait pemberantasan mafia tanah. Tujuannya, memperkuat sinergi dalam menangani sengketa tanah dan memberantas praktik mafia tanah yang merugikan negara hingga masyarakat.
Kerja sama ini juga sepakat membentuk Satuan Tugas(Satgas) mafia tanah, guna mempermudah investigasi dan pelaksanaan tindakan hukum dengan melibatkan aparat kejaksaan, kepolisian serta Kementerian ATR.
Dengan dasar-dasar hukum yang kuat serta adanya satuan tugas yang khusus ini, maka diharapkan persoalan pertanahan di Indonesia perlahan-lahan dapat teratasi, dan pada gilirannya akan mendukung suksesnya program Astacita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.(ANTARA)
Oleh Guido Merung