Barometer.co.id-Jakarta. Peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025 menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan bangsa, sejak proklamasi kemerdekaan pada 1945.
Selama delapan dekade, Indonesia telah melewati berbagai dinamika politik, ekonomi, dan sosial, termasuk tantangan geopolitik yang terus membentuk arah pembangunan nasional.
Dengan mengusung tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” peringatan tahun ini mencerminkan visi pemerintahan untuk memperkuat persatuan, menjaga kedaulatan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di tengah kompleksitas global.
Berbagai kegiatan nasional digelar untuk memeriahkan peringatan ini, seperti Doa Kebangsaan di Kawasan Tugu Proklamasi dan Merdeka Run 8.0K. Pemerintah Daerah Khusus Jakarta turut mendukung semangat kemerdekaan dengan memberikan insentif berupa tarif khusus transportasi publik sebesar Rp80.
Tanggal 18 Agustus juga ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam semangan kemerdekaan.
Meskipun demikian, peringatan ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah kesempatan untuk mengevaluasi capaian bangsa, terutama dalam konteks pemerintahan saat ini dan dinamika global yang terus berubah.
Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya alam dan manusia yang melimpah, terus berupaya mempertahankan kedaulatan dan relevansinya di tengah persaingan global.
Pada 2025, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menekankan visi “Indonesia Maju” dengan fokus pada kolaborasi inklusif dan partisipasi masyarakat. Beberapa kebijakan utama yang menonjol, antara lain peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah menggandeng pelaku usaha retail untuk menghadirkan diskon belanja nasional hingga 80 persen, serta memperkuat infrastruktur transportasi publik di Jakarta dengan tarif khusus, selama peringatan kemerdekaan.
Kebijakan lain adalah penguatan identitas nasional. Kegiatan, seperti doa kebangsaan dan kirab bendera menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, dengan penekanan pada toleransi dan pluralisme.
Kemudian, diplomasi dan pembangunan manusia. Indonesia aktif berperan dalam forum internasional, seperti ASEAN, untuk mempromosikan pembangunan manusia yang inklusif dan tangguh.
Namun, pemerintahan saat ini juga menghadapi tantangan domestik. Beberapa unggahan di media sosial menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap korupsi yang belum tertangani, minimnya lapangan kerja, dan kesulitan generasi muda dalam mengaktualisasikan diri.
Aksi mahasiswa, seperti yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia(BEM SI) pada Juli 2025 menuntut penegakan hukum yang lebih tegas dan pengusutan kasus-kasus korupsi, mencerminkan ketegangan sosial-politik yang belum reda.
Dinamika geopolitik global pada 2025 ditandai dengan ketegangan antara kekuatan besar, seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia, serta isu-isu, seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, dan konflik regional. Sebagai negara kepulauan terbesar dan anggota ASEAN, Indonesia memiliki posisi strategis dalam menavigasi dinamika ini.
Indonesia tetap memegang prinsip bebas-aktif dalam politik luar negerinya, sebagaimana diwariskan dari era Soekarno dan Hatta. Prinsip ini berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, yang menekankan kontribusi pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pada 2025, Indonesia menunjukkan sikap proaktif dengan menyambut baik pengakuan negara Palestina oleh Inggris dan Prancis, menegaskan posisinya sebagai pendukung perdamaian global.
Indonesia menghadapi tantangan di kawasan Asia Tenggara, termasuk sengketa Laut China Selatan dan stabilitas di Timor Leste serta Papua Nugini. Pengalaman sejarah, seperti konflik dengan Belanda di Papua pada 1961-1962, menunjukkan kompleksitas isu kedaulatan wilayah.
Pemerintahan Prabowo Subianto menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas melalui program lumbung pangan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor pangan. Namun, tantangan geopolitik, seperti blokade perdagangan atau fluktuasi harga komoditas global, dapat memengaruhi keberhasilan program ini. Ketergantungan pada pasar internasional untuk bahan baku atau energi menempatkan Indonesia pada posisi rentan terhadap tekanan geopolitik, seperti embargo atau gangguan rantai pasok.
Terkait persaingan global dan kemandirian, Indonesia berupaya mengurangi ketergantungan ekonomi pada asing melalui penguatan industri manufaktur dan investasi dalam sumber daya manusia. Namun, persaingan geopolitik, seperti pengaruh China melalui Belt and Road Initiative dan tekanan perdagangan dari Barat, menuntut strategi diplomasi yang cerdas untuk menjaga kedaulatan ekonomi.
Peringatan 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan proses berkelanjutan. Nilai-nilai, seperti inklusivitas, toleransi, dan tanggung jawab sosial harus tercermin dalam kebijakan publik. Tantangan, seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan tekanan geopolitik menunjukkan bahwa cita-cita kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud.
Sejarah mengajarkan bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan keras, dan tantangan saat ini menuntut pendekatan berbasis regulasi, bukti ilmiah, pengalaman masa lalu, dan ilmu pengetahuan untuk memastikan kemajuan yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa semangat “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan melalui kebijakan yang inklusif dan berkeadilan. Ketidakstabilan politik domestik, seperti yang tercermin dari aksi-aksi mahasiswa, menunjukkan perlunya dialog yang lebih terbuka antara pemerintah dan masyarakat.
Di sisi lain, posisi Indonesia di panggung geopolitik harus diperkuat, tidak saja melalui diplomasi aktif, namun juga harus disertai strategi cerdas, khususnya menghadapi negara-negara adidaya, agar tidak terbelenggu dengan kolonialisme gaya baru, seperti yang diperlihatkan Donald Trump dalam kebijakan tarifnya.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 mencatat penurunan skor demokrasi Indonesia ke angka 6,44, menempatkan Indonesia di peringkat ke-59 dunia. Penurunan ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan introspeksi, terutama dalam penataan kabinet agar tidak sekadar menjadi ajang kompensasi politik yang menghambat reformasi demokrasi.
Dengan berpijak pada Pancasila dan UUD 1945, Indonesia perlu terus mendorong kemandirian ekonomi, memperkuat diplomasi bebas-aktif, dan memastikan kebijakan yang adil demi tercapainya cita-cita kemerdekaan. Peringatan ini harus menjadi pengingat bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab kolektif untuk membangun bangsa yang berdaulat, sejahtera, dan maju.
Dengan strategi penguatan ekonomi domestik berkelanjutan, inklusif, dan adaptif diharapkan menjadi modal kemandirian yang mampu menghadapi tekanan eksternal.(ANTARA)
Oleh: Irjen Pol Chaidir, Tenaga Ahli Pengajar Lemhannas RI