Barometer.co.id-Jakarta. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pembebasan tiga terdakwa kasus korupsi dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019–2022 akan dilakukan setelah salinan keputusan presiden berada di tangannya.

Ia menjelaskan salinan keputusan presiden (keppres) harus dimiliki Menteri Hukum sebagai pengusul pemberian rehabilitasi.

“Saya belum dapat salinan keppresnya. Kalau hari ini ada atau besok atau kapan pun, prinsipnya, begitu sudah ada salinan keppres, saya langsung antar ke KPK,” ujar Supratman dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Ketiga terdakwa dimaksud, yakni Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono.

Berkaca pada pemberian amnesti dan abolisi sebelumnya, saat sudah menerima salinan keppres, Supratman langsung menyampaikannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung guna membebaskan pihak yang menerima amnesti maupun abolisi.

Maka dari itu, Supratman berharap semua pihak bisa menunggu lantaran Menteri Sekretaris Negara telah menyatakan bahwa keppres pemberian rehabilitasi terkait kasus ASDP sudah dikeluarkan.

“Tadi saya tanya juga menyangkut soal pertimbangan Mahkamah Agung, itu juga sudah selesai,” tuturnya.

Rehabilitasi adalah tindakan resmi negara untuk memulihkan hak seseorang dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya, yang diberikan apabila orang tersebut ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang atau karena adanya kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.

Tujuan utama dari hak rehabilitasi untuk mengembalikan nama baik dan status seseorang yang sebelumnya tercemar akibat proses hukum yang keliru atau tidak adil.

Menkum menegaskan rehabilitasi merupakan hak prerogatif atau hak istimewa yang dimiliki oleh seorang presiden. Dengan demikian, disebutkan bahwa Presiden Prabowo Subianto menggunakan hak istimewa tersebut berdasarkan aturan dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi bagi tiga pihak yang tersangkut dalam perkara hukum PT ASDP Indonesia Ferry.

Keputusan tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangan persnya bersama Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (25/11).

“Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah ada hari ini, Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut,” katanya.

Ia mengatakan Presiden telah mengamati rangkaian komunikasi antara DPR dan pemerintah terkait dinamika kasus yang mencuat sejak Juli 2024 itu.

Dasco menjelaskan sejak kasus ASDP bergulir, DPR menerima berbagai pengaduan dan aspirasi dari masyarakat maupun kelompok masyarakat.

Adapun ketiga terdakwa telah dijatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun hingga 4 tahun dan 6 bulan dalam kasus tersebut, masing-masing Ira Puspadewi divonis pidana 4 tahun dan 6 bulan, sedangkan Yusuf Hadi dan Harry Muhammad masing-masing 4 tahun penjara.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat menyatakan ketiganya secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp1,25 triliun.

Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda kepada para terdakwa. Untuk Ira, denda yang dikenakan sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Sementara untuk Yusuf dan Harry dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.

Atas perbuatannya, ketiganya dinyatakan telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(ANTARA)