Barometer.co.id-Jakarta. Inilah ruang kreatif baru untuk alat musik kolintang. Sebuah Lomba Musik Kolintang PYC Piala Bergilir Lis Purnomo Yusgiantoro yang digelar di The Ballroom Djakarta Theater, Jakarta, pada 6 Desember 2025.
Acara ini menghadirkan sebuah pernyataan penting tentang masa depan pelestarian budaya Indonesia.
Ajang ini tidak hanya menjadi ruang kompetisi bagi lima finalis terpilih, tetapi juga menjadi simbol bahwa kolintang sebagai alat musik tradisional Minahasa telah memasuki fase baru dalam perjalanan kreatifnya.
Dengan tema “Senandung Ansambel Kolintang untuk Dunia”, kompetisi ini membuka jalan bagi kolintang untuk diperkenalkan kembali melalui pendekatan musikal yang lebih progresif dan relevan dengan perkembangan zaman.
Para finalis yang terdiri atas Sanggar Ma’zani Sombor, Squad Kolintang Spensabaya, BeeLintang, The Fore, dan HAPS Entertainment menampilkan karya-karya yang menunjukkan keberanian untuk melampaui batas tradisional.
HAPS Entertainment akhirnya meraih predikat juara, setelah membawakan Piano Concerto No. 1, lagu nasional Indonesia Jaya, serta Rondo Alla Turca Turkish March dalam format kolintang, dan berhasil memukau sekitar 200 penonton.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kolintang mampu berdialog dengan repertoar musik klasik, sekaligus memperkuat identitas musikalnya sebagai warisan budaya tak benda yang memiliki daya adaptasi tinggi.
Dewan juri yang terdiri atas Ananda Sukarlan, pianis dan komposer bertaraf internasional; Simon Aloysius Mantiri, Direktur Utama PT Pertamina (Persero); serta Purwa Caraka, musisi, komposer, dan pendidik musik senior Indonesia, memberikan legitimasi penting terhadap kualitas kompetisi ini.
Kehadiran para juri lintas disiplin memperlihatkan bahwa pelestarian budaya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan perspektif yang luas untuk menilai kualitas interpretasi, kreativitas, serta kemampuan kolintang menjembatani tradisi dan modernitas.
Dengan menetapkan HAPS Entertainment sebagai juara, para juri menegaskan bahwa kolintang telah memasuki panggung musik yang lebih kompetitif dan lebih terbuka terhadap inovasi.
Pada hakikatnya kompetisi ini merupakan bentuk apresiasi, sekaligus strategi pelestarian yang sistematis. Selama ini, kolintang dikenal luas sebagai bagian penting dari identitas budaya Minahasa, tetapi ruang tampilannya sering terbatas pada konteks tradisional.
Padahal, nilai historis dan musikal kolintang memungkinkan instrumen ini untuk berkembang dalam berbagai format. Sampai saat ini tercatat belum pernah ada kompetisi resmi yang menempatkan kolintang secara khusus dalam repertoar musik klasik era 1600–1900.
Karena itu, Lomba Kolintang PYC menjadi terobosan yang memperluas cakupan eksplorasi artistik, sekaligus menegaskan bahwa pelestarian budaya harus dibarengi pembaruan.
Arus modernisasi
Kolintang sebagai alat musik tradisional memiliki tantangan besar dalam upaya regenerasi. Arus modernisasi sering kali membuat generasi muda menjauh dari musik tradisional.
Kompetisi seperti ini mampu membuka imajinasi baru bahwa kolintang bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga alat untuk masa depan.
Ketika kolintang memainkan karya Tchaikovsky dan repertoar klasik lainnya, generasi muda melihat peluang untuk mengekspresikan kreativitas dalam bentuk yang lebih luas. Pelestarian pun menemukan bentuk baru yang tidak hanya menjaga tradisi, tetapi menghidupkannya kembali melalui inovasi.
Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center Dr Filda Citra Yusgiantoro menjelaskan bahwa kompetisi dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu seleksi video dan babak final.
Sistem eliminasi memungkinkan kelompok-kelompok kolintang dari berbagai daerah untuk berpartisipasi, tanpa harus hadir langsung di tahap awal.
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa pelestarian budaya harus inklusif, membuka akses seluas-luasnya agar bakat-bakat dari seluruh penjuru negeri dapat muncul ke permukaan.
Filda juga menekankan pentingnya dukungan seluruh elemen masyarakat, pelaku seni, dan generasi muda dalam menjaga keberlangsungan kolintang sebagai warisan budaya bangsa.
Hadiah sebesar Rp100 juta yang diberikan kepada pemenang bukan sekadar bentuk penghargaan, melainkan insentif untuk memperkuat ekosistem kolintang.
Pelestarian budaya membutuhkan dukungan nyata, termasuk pada aspek ekonomi yang memungkinkan musisi dan kelompok seni bertahan serta terus berkreasi.
Dengan memberikan ruang apresiasi seperti ini, PYC mendorong lahirnya musisi-musisi baru yang dapat membawa kolintang ke panggung nasional dan internasional secara lebih percaya diri.
Pelestarian budaya
Pelestarian budaya sendiri bukanlah upaya yang berhenti pada pengakuan warisan atau dokumentasi tradisi. Pelestarian itu memerlukan proses transformasi yang memungkinkan budaya tersebut relevan dengan kebutuhan zaman.
Kolintang, kini tidak lagi sekadar dilihat sebagai simbol tradisi Minahasa, tetapi sebagai instrumen yang dapat diposisikan dalam percakapan musikal global.
Ketika karya monumental klasik dapat diterjemahkan melalui kolintang, tanpa kehilangan esensi musiknya, maka alat musik ini telah masuk ke ruang baru yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Kompetisi ini memperlihatkan bahwa pelestarian budaya Indonesia dapat bergerak melalui pendekatan yang progresif, kreatif, dan terbuka.
Para finalis telah membuktikan bahwa musik tradisional tidak harus dipertahankan dalam bentuk yang kaku, melainkan bisa tumbuh melalui interpretasi baru yang memperkuat identitasnya, sekaligus memperluas jangkauan audiens.
Dalam konteks inilah Lomba Musik Kolintang PYC menjadi tonggak penting, bukan hanya karena melahirkan juara baru, tetapi karena menunjukkan cara baru merawat dan menghidupkan tradisi.
HAPS Entertainment bersama The Fore, Sanggar Ma’zani Sombor, Spensabaya, dan BeeLintang, telah memperlihatkan bahwa masa depan kolintang sangat bergantung pada keberanian untuk berinovasi.
Pelestarian budaya tidak hanya membutuhkan penghormatan terhadap tradisi, tetapi juga visi untuk membawanya melangkah lebih jauh.
Melalui kompetisi ini, kolintang mendapatkan panggung yang layak, apresiasi yang setara, dan peluang untuk semakin dikenal sebagai warisan budaya yang hidup dinamis.
Upaya seperti ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya Indonesia dapat menjadi gerakan kolektif yang menguatkan identitas, memperkaya kreativitas bangsa, dan memastikan bahwa suara kolintang akan terus bergema di masa mendatang.(ANTARA)
Oleh Lis Purnomo Yusgiantoro*)
Editor : Masuki M Astro
*) Lis Purnomo Yusgiantoro adalah anggota Dewan Pembina The Purnomo Yusgiantoro Center untuk inisiatif sosial dan budaya; salah satu Dewan Pembina Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN)
