Oleh Maria Rosari Dwi Putri

Barometer.co.id-Jakarta. Tengkes atau stunting secara umum didefinisikan sebagai masalah kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang, sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.

Hal ini merupakan masalah serius yang mempengaruhi perkembangan fisik dan kognitif anak, terutama di saat mereka dalam masa tumbuh kembang. Sementara dalam jangka panjang, stunting akan mempengaruhi kesehatan, pendidikan, dan produktivitas anak di masa depan.

Oleh karena itu, upaya pencegahan terhadap stunting menjadi prioritas dalam dunia kesehatan. Salah satu pendekatan penting dalam upaya pencegahan stunting adalah melalui sistem rujukan yang menyeluruh.

Sistem rujukan ini melibatkan berbagai tingkat pelayanan kesehatan, mulai dari puskesmas, rumah sakit, hingga rumah sakit umum daerah (RSUD). Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa anak-anak dengan risiko stunting atau yang sudah mengalami stunting mendapatkan perawatan dan intervensi yang tepat sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan terobosan baru berupa kebijakan berbasis bukti dalam rangka percepatan penurunan stunting, yaitu berupa Keputusan Menteri Kesehatan KMK no. HK. 01.07/MENKES/1928/2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Stunting pada akhir tahun 2022.

PNPK tersebut telah disosialisasikan ke seluruh kabupaten dan kota di Indonesia yang mengatur bagaimana pencegahan dan tata laksana balita stunting melalui sistem rujukan berjenjang, mulai dari tingkat posyandu ke puskesmas, hingga penanganan ke RSUD.

Tentunya, implementasi PNPK tersebut memerlukan dukungan dari lintas sektoral dan juga anggaran yang memadai, sehingga dapat berjalan secara optimal.

Implementasi sistem rujukan berjenjang untuk balita itu telah mulai dilakukan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap balita mendapatkan akses tepat waktu ke perawatan kesehatan yang diperlukan, sehingga mampu mengurangi risiko stunting dan masalah kesehatan lainnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Berdasarkan catatan dari Kemenkes, implementasi sistem rujukan berjenjang di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sudah dilakukan dengan berkolaborasi antara pemerintah kota dan kabupaten, puskesmas, rumah sakit, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.

Langkah-langkah penting telah diambil untuk memastikan setiap balita mendapatkan perawatan yang optimal, termasuk dalam intervensi khusus untuk penanganan stunting.

Kabupaten Purbalingga telah melakukan intervensi khusus dengan perlindungan tiga lapisan untuk menekan prevalensi stunting.

Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 prevalensi stunting Kabupaten Purbalingga pada angka 26,8 persen. Angka prevalensi ini malah naik 10 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 16,8 persen.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga dr. Jusi Febrianto menjelaskan tiga lapisan intervensi, yaitu intervensi pertama, melalui pemberian susu dan telor di setiap posyandu. Intervensi kedua, dilakukan di puskesmas berupa deteksi sedini mungkin sebelum divonis stunting.

Pada kasus stunting dilakukan tindakan pemberian makanan tambahan (PMT) selama 2 pekan sampai 1 bulan, dan dikoreksi. Intervensi ketiga, melalui pemberian Pangan Olahan untuk Kondisi Medis Khusus (PKMK), yang hanya bisa diberikan dari rumah sakit.

Metode ini dirasa cukup efektif menurunkan angka stunting. Di Desa Karangaren, selama 6 bulan dapat menurunkan 6 persen stunting dari 18 persen menjadi 12 persen. Diharapkan, apabila anggaran cukup, metode itu bisa diterapkan ke 57 desa lainnya di Kabupaten Purbalingga.

Salah satu dokter anak yang bertugas dr. Adrian, SpA mengatakan upaya penurunan stunting di Purbalingga juga dengan mengedukasi masyarakat untuk terus aktif memberikan informasi mengenai tumbuh kembang anaknya yang terkena stunting.

Informasi itu biasanya mereka (ibu dari anak stunting) disampaikan melalui salah satu aplikasi berkirim pesan dan panggilan. Mereka diberi akses untuk menginformasikan kepada petugas kesehatan mengenai upaya yang telah dilakukan guna menurunkan stunting.

Ibu dari anak stunting yang diintervensi dengan PKMK mengakui anaknya mengalami peningkatan berat badan yang sesuai dengan rekomendasi dokter.

Sementara Pemerintah Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada tahun 2023 menganggarkan Rp800 juta untuk pembelian susu pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) terkait penanganan tingginya angka balita stunting di wilayah itu.

Menurut Dokter Anak RSUD RSUD Sayyidiman Magetan, dr. Rahma Anindita, SpA dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat terkait penanganan stunting, maka banyak dari orang tua balita stunting yang melakukan rujukan ke RSUD Sayyidiman Magetan untuk mendapatkan penanganan pada tahun 2023.

Tata laksana poros posyandu pusat rumah sakit itu sudah direplikasi ke seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Magetan, sehingga kebutuhan PKMK protein hewani setelah semua sadar akan pentingnya (penanganan) stunting itu akhirnya meningkat tajam.

Direktur Eksekutif Habibie Institute Public Policy and Governance (HIPPG), Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie Sp.Ort., MM., mengajak lintas sektor untuk turut andil dan peduli dalam upaya menekan angka stunting.

Kerjasama lintas sektor dalam sistem rujukan diperlukan untuk menyelamatkan balita dari masalah stunting dan dampak ikutannya.

Hal ini merupakan langkah penting guna meningkatkan kualitas hidup anak-anak di Indonesia. Dalam upaya ini, pemerintah pusat dan daerah, sektor kesehatan, swasta, komunitas, serta masyarakat setempat harus bekerja secara bersama-sama dalam mengatasi masalah stunting. Melalui kolaborasi yang erat, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang optimal bagi setiap balita, dan memastikan generasi masa depan yang lebih sehat dan berkualitas.(ant)