Barometer.co.id, Manado – Di tengah kondisi kronis korupsi yang merongrong sistem sosial, ekonomi, dan budaya pemerintahan di Sulawesi Utara, muncul satu figur kuat yang berani mengambil risiko dan mengguncang status quo: Kapolda Sulut Irjen Pol Royke Langie, S.I.K., M.H.

Langkah-langkah tegasnya dalam membongkar praktik-praktik korupsi, termasuk kasus hibah GMIM yang melibatkan institusi keagamaan, menandai babak baru dalam penegakan hukum di daerah ini. Tak pandang bulu, tak kenal kompromi, itulah semangat yang kini menjadi napas baru Polda Sulut di bawah komando Irjen Langie.

Bersama Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus, Kapolda Sulut bergerak seiring dalam memperkuat komitmen pemberantasan korupsi, sejalan dengan program Asta Cita Presiden Prabowo yang menekankan pentingnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Ini bukan sekadar langkah simbolik, tapi aksi nyata yang mengguncang fondasi lama birokrasi yang rentan kompromi.

Penyelidikan dan penyidikan yang kini digalakkan jajaran Polda Sulut bukan hanya respons atas laporan masyarakat, tetapi bagian dari misi strategis menegakkan integritas publik. Hal ini diperkuat dengan penetapan tersangka dalam kasus-kasus penting, yang sebelumnya tak pernah disentuh oleh pendahulu-pendahulunya.

“Kapolda Sulut telah menjadi agen perubahan dalam arti sebenarnya. Ia berhasil menggeser paradigma penegakan hukum dari yang semula bersifat reaktif menjadi proaktif, bahkan transformatif,” ujar Dr. Maxi Egeten, S.IP, M.Si., Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat.

Menurut Maxi, dukungan publik menjadi elemen vital dalam memastikan keberhasilan agenda bersih-bersih ini. Akademisi, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat kini ikut bersuara mendukung, karena mereka melihat keberanian Kapolda menyentuh wilayah yang selama ini dianggap ‘kebal hukum’.

Namun di balik langkah maju ini, muncul pula upaya menggiring opini bahwa gerakan antikorupsi Kapolda bermuatan politis. Termasuk spekulasi seputar dana hibah untuk Polda Sulut. Menanggapi hal itu, Dr. Maxi menegaskan, narasi tersebut menyesatkan dan mengaburkan substansi perjuangan.

“Ini bukan soal dana hibah. Ini soal keberanian menyelamatkan daerah dari kehancuran akibat korupsi yang sistemik,” tegasnya.

Apa yang dilakukan Kapolda Langie adalah momentum. Pesan kepada birokrasi kini jelas. Bersikaplah profesional, berintegritas, dan tinggalkan korupsi. Bagi lembaga keagamaan, ini juga peringatan bahwa tak ada institusi yang kebal hukum.

Dalam konteks nasional, langkah Kapolda dan Gubernur Sulut ini mencerminkan realisasi nyata dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto: membangun tata kelola pemerintahan yang transparan, efektif, dan bebas korupsi.

Jika perubahan besar dimulai dari satu langkah kecil, maka langkah berani Kapolda Sulut adalah lompatan besar menuju masa depan Sulut yang bersih dan bermartabat.