Barometer.co.id-Amurang

Kasus pencabulan anak di bawah umur di wilayah hukum Polres Minahasa Selatan (Minsel) kian mengkhawatirkan. Hingga bulan Agustus tahun 2022 ini saja kenaikannya sudah hampir 100 persen di bandingkan tahun 2021.

Kapolres Minsel AKBP. Bambang C. Harleyanto SIK melalui Kasat Reskrim Iptu Lesly Deiby Lihawa, SH, M.Kn, saat ditemui menyampaikan total kasus yang ditangani pada 2022 sudah 30 kasus. Dibandingkan tahun lalu sampai periode yang sama tercatat 17 kasus.

“Memang untuk tahun 2022 ini  kenaikan kasus pencabulan anak di bawah umur atau Cabul sangat mencolok. Angkanya menghampiri 100 persen di banding tahun lalu. Tercatat, pada bulan Januari hingga bulan Juli 2021 sebanyak 17 kasus. Bandingkan tahun ini dari bulan Januari sampai akhir Juli kemarin sudah mencapai 30 kasus,” ujar Lihawa.

Menurut Lihawa perlakuan atau tindakan cabul oleh pelaku paling banyak dipengaruhi aktifitas di media sosial. Dimana lewat media sosial pelaku mendapatkan mangsanya dengan modus perkenalan.
 “Modus para pelaku yang paling pertama melalui media sosial. Melalui perkenalan di media sosial hingga percintaan, pelaku mulai menjerat korbannya dengan bujuk rayu hingga terjadi percabulan. Anak di bawah umur memang rentan,” tukas Kasat Reskrim.

Selain perkenalan melalui media sosial, pelaku cabul juga berasal dari orang-orang dekat korban. “Tetangga, pegawai atau orang orang tinggal di rumah, paman, ayah tiri, bahkan ayah kandung tidak jarang menjadi pelaku cabul. Aktifitas menonton film porno juga menjadi pemicu,” tambahnya Lihawa.
 Lihawa menghimbau agar diperlukan upaya-upaya mencegah terjadinya kasus-kasus cabul dan kekerasan seksual lainnya dengan korban anak di bawah umur. Tindakan yang dilakukan perlu sedini mungkin. Mulai dari mereka yang berpotensi berbuat cabul, maupun anak di bawah umur.

“Sebelum ada penegakan hukum terjadi maka lakukanlah terlebih dahulu tindak pencegahan. Ingat pencegahan bukan hanya datang dari kepolisian saja. Pihak sekolah-sekolah melalui para guru, tokoh masyarakat dan agama,” paparnya.

Lanjut dikatakannya penting juga orang tua mengontrol anak perempuannya ketika pulang sekolah. Segera peka bila mereka tidak pulang. Apalagi bila berada di luar rumah, belum pulang semisal sampai jam 10 malam.

“Orang tua harus peka dan dapat mengontrol anak. Seperti lingkungan pergaulan dan juga jam pulang rumah atau aktifitas luar rumah. Perlu ada pengawasan agar dapat mencegah hal buruk terjadi. Periksa juga HP anak, karena aksi cabul juga banyak berawal melalui HP,” jelas Lihawa.

Dari pihak kepolisian sendiri dalam pencegahan selalu melakukan sosialisasi ditempat umum dan di sekolah-sekolah. Selain itu juga ditempat rawan bagi kaum milenial yang dijadikan pertemuan mereka.

“Peran kami selalu melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah, patroli secara berkala di pantai, di tempat-tempat hiburan dan di tempat lainnya yang dijadikan anak-anak muda berkumpul. Apalagi bagi mereka-mereka masih yang masih di bawah umur,” tegasnya. 

Perlu diketahui kasus ini ketika terjadi pemaksaan atau ancaman terhadap anak untuk melakukan persetubuhan, maka tindakan tersebut merupakan pencabulan, sehingga dapat dikenai ancaman pidana. Sebagaimana telah diatur dalam undang – undang perlindungan anak tersebut, ditetapkan sanksi pidana kepada pelaku yang dimuat dalam pasal 81.

“Dalam pasal 81 undang – undang perlindungan anak tahun 2014 no 35 tersebut, ada tiga hal yang menjadi sorotan. Hal utama yang disoroti adalah pelaku pencabulan akan dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak 5 miliar rupiah. Jadi jangan coba-coba melakukan hal yang nikmat sesaat dengan sesat maka terali besi menunggu anda,”tandasnya.(jim)