Oleh Kelik Dewanto
Barometer.co.id-Jakarta. Pemerintah telah menetapkan visi jangka panjang Indonesia Maju 2045, yakni Indonesia menjadi negara maju pada 2045 atau tepat setelah 100 Tahun Kemerdekaan RI.
Di sisi lain, Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam itu, jika dikelola dengan baik akan memberikan manfaat besar bagi bangsa. Jawaban dari pengelolaan yang baik itu adalah melalui hilirisasi.
Sederet manfaat kebijakan hilirisasi industri bisa didapat, mulai dari meningkatnya nilai tambah, meningkatnya perekonomian, meningkatnya penerimaan negara, menyubstitusi barang impor, menarik investasi, menghasilkan devisa, hingga menyerap banyak tenaga kerja dari bangsa sendiri.
Pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan hilirisasi telah menjadi prioritas dan kini semakin terlihat hasilnya.
Pemerintahan sekarang pun tidak main-main dengan isu hilirisasi tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menghentikan program hilirisasi industri.
Bahkan, saat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan Uni Eropa soal keputusan Indonesia menghentikan ekspor bijih nikel dan ditambah Dana Moneter Internasional (IMF) menentang kebijakan hilirisasi tersebut, Indonesia tidak gentar.
Bagi Indonesia, siapapun, negara manapun, organisasi internasional apapun, tidak bisa menghentikan keinginan kita untuk industrialisasi, untuk hilirisasi dari ekspor barang mentah ke barang setengah jadi atau barang jadi, karena kita ingin nilai tambah ada di dalam negeri.
Nilai tambah yang didapat dari kebijakan hilirisasi memang demikian besar. Data Kemenperin menyebutkan jika berupa bijih nikel, hanya dihargai 30 dolar AS per ton, maka saat diolah lebih lanjut menjadi nickel pig iron (NPI), harganya naik 3,3 kali lipat menjadi 90 dolar AS per ton.
Selanjutnya, apabila berupa ferronickel, harga nikel ore naik 6,76 kali atau menjadi 203 dolar AS per ton, lalu menjadi produk nikel matte naik 43,9 kali lipat menjadi 3.117 dolar AS per ton, dan dijadikan mix hydro precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai meningkat 120,94 kali menjadi 3.628 dolar AS per ton.
Bahkan, nantinya jika ada ada pabrik baterai yang mengubah bijih nikel menjadi LiNiMnCo, di Indonesia, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat.
Saat ini, terdapat 34 smelter nikel yang sudah beroperasi dan 17 smelter sedang dalam konstruksi yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Banten.
Investasi yang telah tertanam di Indonesia dari smelter tersebut sebesar 11 miliar dolar AS atau Rp165 triliun untuk jenis pyrometalurgi dan 2,8 miliar dolar AS atau Rp40 triliun untuk hydrometalurgi yang memproduksi MHP sebagai bahan baku baterai.
Keberadaan smelter-smelter tersebut turut mendongkrak perekonomian daerah. Di Sulteng, pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata tujuh persen, menjadi 15 persen. Serupa di Maluku Utara, sebelumnya rata-rata pertumbuhan di angka 5,7 persen, setelah hilirisasi menjadi 23 persen dalam setahun.
Demikian pula, dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerjanya, untuk Sulteng, dari 1.800 naik menjadi 71.500 tenaga kerja. Sementara, di Maluku Utara, sebelum hilirisasi hanya tercatat 500 tenaga kerja dan kini melonjak menjadi 45.600 pekerja.
Setelah menghentikan ekspor bijih nikel, pemerintah pun bersiap melanjutkan kebijakan hilirisasi bahan mineral lainnya, yakni tembaga dan bauksit. Terbaru, pemerintah juga berencana menghentikan ekspor gas alam cair (LNG) untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.
Indonesia Maju
Maka, ada dua hal penting yang menyebabkan Indonesia bisa melompat menjadi negara maju, yakni pengembangan sumber daya manusia karena adanya bonus demografi serta hilirisasi industri.
Dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (16/8/2023), Presiden Jokowi kembali menyoroti kebijakan hilirisasi tersebut.
Ia menyampaikan kebijakan hilirisasi sumber daya alam bakal meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia hingga lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Berdasarkan hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun mendatang, pendapatan per kapita kita akan mencapai Rp153 juta atau 10.900 dolar AS per tahun.
Pada 2022, pendapatan per kapita per tahun di angka Rp71 juta. Sementara, dalam 15 tahun mendatang, proyeksi pendapatan per kapita Indonesia mencapai Rp217 juta atau 15.800 dolar AS per tahun dan 22 tahun ke depan, bakal mencapai Rp331 juta atau 25.000 dolar AS per tahun.
Angka-angka positif itu terkonfirmasi dari nilai tambah yang didapat dari hilirisasi. Saat nikel diekspor dalam bentuk bijih atau bahan mentah, nilai yang diperoleh negara hanya Rp17 triliun. Namun, setelah dilakukan hilirisasi, nilainya melonjak berlipat-lipat menjadi Rp510 triliun.
Ke depan, pemerintah berkomitmen tidak hanya mengekspor nikel dalam bentuk bahan baku baterai, tetapi produk lebih ke hilir, seperti stainless steel dan baterai listrik, yang selanjutnya dapat menghasilkan produk berupa peralatan kesehatan, dapur, kedirgantaraan, dan kendaraan listrik. Semua produk hilir itu tentunya bakal memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar lagi.
Secara keseluruhan, pemerintah menyatakan akan fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri di tiga sektor, yakni agro, bahan tambang dan mineral, serta migas dan batu bara.
Di sektor bahan tambang dan mineral, pemerintah memberi prioritas pada lima komoditas, yaitu bijih tembaga, bijih besi, dan pasir besi, bijih nikel, bauksit, serta logam tanah jarang.
Industri petrokimia juga menjadi sasaran pemerintah melalui sejumlah pembangunan pabrik petrokimia skala raksasa, di antaranya di Cilegon, Banten; Muara Enim, Sumsel; dan Teluk Bintuni, Papua Barat.
Sementara, untuk hilirisasi industri berbasis agro, pemerintah melakukan hilirisasi produk kelapa sawit menjadi oleofood complex untuk pangan dan nutrisi; oleochemical and biomaterial complex, yang di antaranya sebagai bahan kimia dan pembersih; dan bahan bakar nabati berbasis sawit, seperti biodiesel, greendiesel, greenfuel, dan biomass. Ke depan, hilirisasi industri akan mencakup pula produk buah kelapa dan rumput laut.
Indikator keberhasilan program hilirisasi industri kelapa sawit tergambar dari komposisi ekspor antara bahan baku dan produk olahan.
Data Kemenperin menunjukkan saat hilirisasi industri kelapa sawit dijalankan pada 2007, ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mencakup 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional.
Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit turun menjadi 18 persen CPO dan 6 persen crude palm kernel oil (CPKO), yang keduanya merupakan bahan baku industri, dan sisanya sebesar 61 persen berupa produk refinery serta 15 persen produk lainnya.
Lalu, pada 2022, komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan lagi menjadi 2 persen CPO dan 4 persen CPKO, sementara ekspor produk hilir mengalami peningkatan signifikan, yakni 73 persen produk refinery dan 21 persen produk lainnya.
Selanjutnya, pada 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO hanya 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitas refinery meningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton pada 2022.
Keberhasilan hilirisasi sawit juga tercermin dari kapasitas terpasang pabrik biodiesel yang kini mencapai 17,5 juta ton per tahun, industri oleofood 2,7 juta ton per tahun, dan industri oleokimia mencapai 11,6 juta ton per tahun.
Pada akhir 2007, produk hilir turunan kelapa sawit dan minyak sawit yang dihasilkan di Indonesia hanya 54 jenis, kini sudah menjadi 179 jenis, yang antara lain meliputi produk oleofood dan oleochemical.
Dengan manfaat yang begitu banyak bagi negara, maka sudah sepatutnya kebijakan hilirisasi industri terus didorong agar semakin berkembang dan konsisten dijalankan, sehingga mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Maju pada 2045.(ant)