
Barometer.co.id-Jakarta. Tidak pernah ada yang salah dari sebuah niat baik, termasuk ketika pemerintah meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih untuk menjawab ketimpangan ekonomi perdesaan dan upaya membangkitkan kembali semangat ekonomi kerakyatan.
Hanya saja, di negeri yang telah banyak pengalaman dengan program top-down yang tidak selalu berhasil. Sejarah menuntut bangsa ini untuk semakin bijak menilai apakah benar koperasi desa yang dibentuk lewat inisiatif kekuasaan mampu mewujudkan cita-cita Bung Hatta tentang koperasi sebagai jalan pembebasan ekonomi rakyat.
Ataukah koperasi desa ini hanya menjadi episode baru dari daur ulang kebijakan masa lalu yang berujung pada kekecewaan struktural?
Gagasan koperasi dalam pemikiran Bung Hatta tidak sekadar tentang membangun institusi ekonomi.
Bagi Bung Hatta, koperasi adalah bentuk perlawanan terhadap sistem kolonial, kapitalisme eksploitatif, dan pengingkaran atas kedaulatan ekonomi rakyat.
Koperasi, menurut Bung Hatta, adalah persekutuan hidup yang dibangun atas dasar sukarela, kekeluargaan, dan tanggung jawab sosial. Nilainya jauh lebih dalam dari sekadar efisiensi bisnis.
Koperasi dalam idealisme Bung Hatta adalah wadah untuk mendidik manusia menjadi mandiri, demokratis, dan saling menolong.
Oleh karena itu, koperasi tidak bisa didesain seperti pabrik yang diproduksi massal dari pusat kekuasaan, lalu diharapkan berfungsi seragam di seluruh penjuru desa.
Sayangnya, model Koperasi Desa Merah Putih ada kecenderungan yang tampaknya mengulang pendekatan Orde Baru yang tidak selalu mulus, lewat Koperasi Unit Desa (KUD).
Target serentak 80 ribu koperasi di seluruh desa, dengan pendanaan masif menunjukkan skema industrialisasi koperasi, bukan pemberdayaan.
Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi berani memastikan bahwa pemerintah akan terus memantau dan mengevaluasi kinerja Koperasi Desa atau Kopdes Merah Putih, menyusul tercapainya target 80 ribu koperasi di seluruh Indonesia.
Budi Arie juga sudah menjamin bahwa setiap koperasi akan didampingi secara sistematis oleh para pendamping dan pelatih yang disiapkan dalam kerangka kerja satuan tugas (satgas) pembentukan Kopdes Merah Putih, guna memastikan keberlanjutan program koperasi.
Untuk pengawasan terhadap pelaksanaan operasional koperasi ini, akan dilakukan secara bersama-sama dengan anggota, sehingga aspek transparansi koperasi bisa tetap dijaga.
Meluruskan arah
Seperti dicatat dalam laporan CORE Insight pada Juni 2025, pembentukan koperasi berdasarkan pendekatan instruktif dan seragam rawan menjauh dari prinsip koperasi sejati yang mengutamakan inisiatif warga, partisipasi sukarela, dan kepemilikan bersama atas usaha ekonomi.
Apalagi jika desain dasarnya mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 yang cenderung memfasilitasi pendekatan homogen dan birokratis, seperti pada masa Orde Baru.
Kritik terhadap Koperasi Desa Merah Putih bukanlah penolakan terhadap tujuannya, melainkan upaya meluruskan arah agar tidak kehilangan roh.
Dari sisi kelembagaan, tumpang tindih koperasi itu dengan BUMDes menimbulkan duplikasi fungsi, membingungkan aparatur desa, dan berpotensi menyulitkan perencanaan penggunaan Dana Desa.
CORE Insight juga mencatat bahwa Surat Edaran Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2025 yang mewajibkan desa mengalokasikan 20 persen Dana Desa untuk Koperasi Merah Putih justru bisa memperburuk kualitas pembangunan ekonomi lokal.
Sebuah kebijakan yang memaksa, alih-alih memfasilitasi partisipasi, bertentangan dengan semangat koperasi itu sendiri.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Abdul Muhaimin Iskandar memang sudah menegaskan pentingnya kolaborasi antara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Koperasi Merah Putih sebagai penggerak utama ekonomi lokal.
Dua entitas ini justru harus dikolaborasikan agar bisa menjadi kekuatan ekonomi akar rumput. Dengan sinergi ini, pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi desa yang terbuka, berkelanjutan, dan menciptakan lapangan kerja.
Sampai sejauh ini, BUMDes telah beroperasi di lebih dari 60.000 desa selama satu dekade, sementara Koperasi Merah Putih diharapkan menjadi penggerak baru yang menjanjikan.
Bagi Kemenko PM, kolaborasi keduanya diharapkan tidak hanya menghasilkan kinerja akumulatif, tapi eksponensial.
Di sisi lain CORE saat ini sedang mengkhawatirkan sisi pendanaan Koperasi Desa Merah Putih. CORE memperkirakan potensi beban fiskal sebesar Rp400 triliun jika skema pembiayaan Koperasi Merah Putih tetap dilanjutkan melalui APBN dan Bank Himbara, baik dalam bentuk channelling maupun executing.
Risiko gagal bayar bisa tinggi, terutama karena mayoritas koperasi belum siap secara kelembagaan dan manajerial.
Ini mengingatkan pada banyaknya koperasi simpan pinjam yang gagal dan justru menyerupai praktik rentenir karena tata kelola yang lemah dan orientasi konsumtif.
Rekomendasi yang diajukan CORE sangat rasional dan penting untuk diperhatikan jika Koperasi Desa Merah Putih ingin benar-benar berhasil.
Koperasi harus dibangun dengan prinsip partisipatif, tidak boleh mengulang pendekatan “koperasi papan nama” yang bergantung pada bantuan negara.
Dana besar harus dialokasikan secara bertahap dan berbasis pada kinerja nyata, bukan sekadar berdasarkan jumlah koperasi yang dibentuk.
Penting untuk menerapkan mekanisme mitigasi risiko yang ketat dan sistem pengawasan berbasis audit independen agar penyalahgunaan dana tidak kembali terjadi, seperti dalam kasus koperasi simpan pinjam bermasalah.
Kesadaran kolektif
Pengalaman di level internasional pun membuktikan bahwa koperasi tidak akan berfungsi maksimal bila dibentuk karena perintah negara.
FAO, ILO, dan UNRISD dalam berbagai laporannya menunjukkan bahwa koperasi yang sukses di India (Amul), Kenya (SACCOs), dan Spanyol (Mondragon) justru tumbuh dari partisipasi warga, bukan intervensi negara.
Bahkan, OECD memperingatkan agar jangan sampai keberadaan koperasi justru menyingkirkan kelembagaan lokal yang telah berjalan, seperti BUMDes.
Prinsip ini berlaku universal sebagaimana disepakati dalam kerangka International Cooperative Alliance, koperasi adalah entitas otonom, bukan alat pemerintah.
Indonesia sebenarnya punya contoh historis dan kontemporer tentang koperasi berbasis warga yang berhasil. Koperasi Madoe Tawon di Sukabumi pada awal abad ke-20 berdiri karena inisiatif petani teh lokal yang ingin memperluas pasar dan meningkatkan produksi.
Pemerintah kolonial hanya memberi dukungan, setelah koperasi itu mapan, bukan sejak awal. Studi dari Alatas dan Sulong (2020) dalam The emergence and development of indigenous tea plantations in West Java, 1875–1941menunjukkan bahwa keberhasilan Madoe Tawon berakar pada semangat kolektif, model bisnis adaptif, dan manajemen profesional, semua berasal dari bawah, bukan perintah dari atas. Bahkan, ketika pemerintah membantu, itu tidak dalam bentuk dominasi, tetapi fasilitasi.
Begitu pula koperasi teh di Pagilaran, Batang, menunjukkan bahwa efisiensi usaha, sistem informasi pasar yang baik, dan program kepemilikan bersama bisa menghasilkan manfaat langsung bagi petani.
Studi Yuliando dkk (2015) dalam The strengthening factors of tea farmer cooperative: Case of Indonesian tea industry’, Agriculture and Agricultural Science Procedia, mencatat bahwa koperasi yang mengutamakan nilai tambah produksi dan kapasitas branding mandiri jauh lebih mampu bertahan di tengah persaingan pasar daripada koperasi yang bergantung pada subsidi atau proyek negara.
Dengan menyadari pembelajaran ini, maka pendekatan pengembangan Koperasi Merah Putih seharusnya tidak dipaksakan seragam di seluruh desa.
Setiap desa memiliki karakteristik sosial, ekonomi, dan kapasitas yang berbeda. Karena itu, pemerintah sebaiknya memilih pendekatan bertahap, dimulai dari desa-desa unggulan dengan rekam jejak ekonomi dan manajerial yang baik, untuk kemudian dijadikan model belajar bagi desa lain secara peer-to-peer.
Selain itu, sinergi dengan ekosistem usaha lokal yang sudah ada, seperti BUMDes dan koperasi tani, harus diutamakan, bukan justru digantikan atau ditumpuk kelembagaannya.
Pada akhirnya, Koperasi Desa Merah Putih hanya akan memiliki makna jika ia lahir dari kesadaran kolektif warga, dijalankan dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta tidak dikendalikan sebagai alat politik atau proyek pembangunan elite.
Koperasi bukan instrumen penguasaan, tapi ruang belajar demokrasi ekonomi. Dan untuk membangun ekonomi rakyat yang berdaulat, bangsa ini tidak butuh koperasi yang dimonopoli negara, tetapi koperasi yang dimiliki oleh rakyat dengan inisiatif yang tergali dari nurani anak bangsa dengan kesadaran yang tinggi dan tanpa paksaan.(ANTARA)
Oleh Hanni Sofia