Barometer.co.id-Manado. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara, Arbonas Hutabarat mengatakan, normalisasi aktivitas masyarakat pasca Idul Fitri masih memberikan tekanan inflasi pada bulan Mei walaupun terbatas.
Tekanan inflasi Sulut yang tercatat meningkat signifikan pada periode bulan lalu mengalami perlambatan pada Mei 2022. Hal tersebut tercermin dari peningkatan IHK Kota Manado yang relatif terbatas sebesar 0,18% (mtm), dan deflasi di Kotamobagu sebesar -0,21% (mtm).
Arbonas mengatakan, secara tahunan, inflasi Kota Manado tercatat sebesar 2,68% (yoy), dan Kota Kotamobagu sebesar 2,79% (yoy), masih berada di bawah inflasi nasional yang sebesar 3,35%. Tekanan inflasi Sulut yang diwakili oleh kedua kota tersebut juga berada pada rentang sasaran inflasi nasional yang sebesar 3±1% (yoy).
“Sama seperti periode bulan sebelumnya, Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau serta Kelompok Transportasi masih menjadi faktor utama pemberi andil inflasi di Manado. Komoditas bawang merah, tomat, dan minuman ringan merupakan tiga komoditas utama yang mendorong inflasi Manado dari Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau. Peningkatan harga bawang merah terjadi secara nasional akibat minimnya pasokan dan belum pulihnya distribusi pasca Idul Fitri 2022,” kata Arbonas.
Apabila dibandingkan dengan daerah lain di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), harga bawang merah di Papua Barat, Gorontalo, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah cenderung lebih tinggi. Hal tersebut merupakan tantangan dari pengendalian inflasi komoditas ini, karena pasokan bawang merah di Sulut masih bergantung pada pasokan dari daerah lain seperti Enrekang (Sulsel) dan Bima (NTB).
Sehingga, tingginya harga di wilayah sekitar Sulut berpotensi untuk mendorong daerah sentra produksi tersebut menjual hasil produksinya ke luar Sulut. Hal ini akan berpengaruh pada berkurangnya pasokan di Sulut yang menyebabkan harga meningkat. Sementara komoditas cabai rawit masih menjadi penahan tekanan inflasi dengan andil deflasi sebesar -0,18% (mtm).
Arbonas mengatakan, berbeda dengan di Kota Manado, Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau di Kotamobagu justru mengalami deflasi dengan andil -0,34% (mtm), disusul dengan Kelompok Transportasi yang juga mengalami deflasi dengan andil -0,05% (mtm).
“Komoditas daun bawang yang menjadi pendorong inflasi utama periode sebelumnya mengalami pembalikan harga dan tercatat deflasi dengan andil – 0,22% (mtm). Disusul dengan komoditas cakalang diawetkan dengan andil deflasi -0,18% (mtm),” ujarnya.
Sama halnya dengan di Kota Manado, komoditas cabai rawit juga mengalami deflasi dengan andil -0,12% (mtm). Selanjutnya dari Kelompok Transportasi, tarif kendaraan travel cenderung menurun dan memberikan andil pada deflasi Kota Kotamobagu sebesar -0,05% (mtm).
Hal tersebut menurut Arbonas disebabkan oleh menurunnya permintaan setelah sempat meningkat pada bulan sebelumnya menjelang Idul Fitri 2022. Kelompok Penyediaan Makanan dan Minuman/Restoran di Kotamobagu menahan turunnya tekanan inflasi lebih lanjut dengan tercatat inflasi sebesar 0,13% (mtm). Tingginya harga bahan baku (terigu, telur, dan minyak) diperkirakan menjadi pemicu meningkatnya harga makanan olahan seperti martabak di Kotamobagu.
Normalisasi aktivitas masyarakat pasca HBKN Idul Fitri secara umum masih akan terjadi pada bulan Juni 2022 sehingga diperkirakan dapat menjadi faktor penahan inflasi di Sulawesi Utara terutama Kota Manado dan Kota Kotamobagu. Normalisasi angkutan udara juga diperkirakan akan menahan tekanan inflasi setelah periode mudik dan arus balik pada April-Mei 2022 selesai. Meski demikian, secara global telah terjadi peningkatan tekanan inflasi dan mencatatkan nilai tertinggi sejak krisis keuangan global 2008.(jm)