Sejumlah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Medan menolak Bobby Nasution sebagai calon walikota Medan. Padahal DPP PDIP telah mengumumkan pencalonan itu. Kini para kader yang menolak dan sebagiannya merupakan ketua pimpinan anak cabang (PAC) sudah dalam proses pemecatan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di PDIP. Nyaris semua partai politik (parpol) mengalami dinamika yang sama disetiap Pilkada. Tindakan pecat memecat, dan musda istimewa, telah banyak dilakonkan parpol belakangan ini.
Nafsu dan ambisi kekuasaan menjadi penyebab utama. Apalagi parpol di Indonesia orientasinya fokus pada kekuasaan semata. Kekuasaan itu bukan dijadikan sebagai alat memperjuangkan kepentingan publik namun sekedar alat berburu status sosial, fasilitas negara dan pemenuhan kekayaan oleh sebagian besar aktor di masing-masing parpol.
Lantas apa penyebab parpol itu selalu konflik dalam momentum Pilkada.
Pertama, UU Pilkada mewajibkan bahwa penetapan pasangan calon dari partai politik direkomendasikan oleh pengurus pusat parpol. Hal itu diatur pada Pasal 40 A dan Pasal 42, Pasal 164, dan Pasal 186 A. Jika pengurus parpol di tingkat daerah tidak melaksanakan rekomendasi bakal pasangan calon kepala daerah, maka DPP Parpol dapat mengambil alih proses pencalonan tersebut.
Ketentuan ini selalu saja menimbulkan pertentangan. Keputusan DPP kerap tidak sesuai dengan kearifan lokal dan tidak menghargai dinamika yang terjadi di tingkat lokal. Kader yang dinilai telah berdarah-darah membesarkan parpol tidak bisa dijamin untuk dicalonkan. Sebagain Calon yang direkomendasi justru belum banyak dikenal di daerah. Ditengarai para calon ini pinter bermain dipintu belakang.
Tata kelola pemerintahan daerah telah dikelola secara otonom, namun parpol belum seiring dengan kebiajkan itu. Wajar jika banyak kader di daerah menolak keputusan itu dengan resiko dipecat sekalipun.
Kedua, konflik terjadi karena kelembagaan parpol yang tidak dikelola dengan baik dan transparan. Tidak jelas apa parameter yang digunakan sehingga seseorang bisa ditetapkan sebagai calon.
Dalam berbagai kajian literatur ilmu politik maupun UU tentang parpol sudah menegaskan, bahwa salah satu fungsi parpol adalah mempersiapkan aktor-aktor politik untuk dipromosikan pada jabatan eksekutif ataupun legislatif. Artinya jauh sebelum tahapan Pilkada dan pencalonan, parpol sudah selesai dengan siapa yang layak dan pantas.
Kondisi yang terjadi hari ini menunjukkan bahwa parpol baru akan sibuk mencari calon, yaitu pada saat menjelang tahapan pencalonan kepala daerah di KPUD setempat. Bahkan hal yang memalukan ketika ada calon baru mendapatkan kartu tanda anggota (KTA) parpol sehari sebelum pencalonan. Bisa jadi yang diusung itu adalah bukan kader parpol atau kader yang pecat dari parpol lain. Inilah sebab mengapa sebagian kader tak terima dengan keputusan ini sehingga membuat gerakan baru untuk melakukan perlawanan.
Ketiga, dugaan sebagian parpol mewajibkan mahar bagi calon menyebabkan apa yang direkomendasikan tak bisa diterima oleh sebagain kader. Pilkada menjadi momentum oleh sebagian elit untuk mendapatkan kembali apa yang pernah ia alami. Pada saat munas atau musda, biaya untuk menyogok peserta pemilik suara tidaklah sendikit.
Walaupun alasan itu bisa dimanipulasi dengan argumentasi yang sepertinya masuk akal. Misalnya untuk pengganti tiket peserta dari daerah, biaya akomodasi, biaya transportasi dalam kota dan pengganti suar lelah. Jika menang maka sang calon ketua parpol harus relah merogok puluhan hingga ratusan milyar untuk “memperdaya” peserta.
3i melindungi bisnis yang sedang dikelola atau ingin menguasai sumber daya alam di daerah itu. Aspirasi kader kalah telak dengan nama yang diusulkan pemilik modal. Pada ujungnya konflikpun tak bisa dihindari.
Selama 4 aspek ini tak dibenahi, maka penyakit konflik parpol tak akan pernah sembuh. Bisa saja redam, tapi sewaktu-waktu bisa akut kembali. Semangat KPU RI mendorong tingginya angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 akan sepertinya terhambat oleh kondisi ini.
Nama-nama yang diusung dinilai tak masuk akal dan parpol dilanda konflik internal akan menjauhkan pemilih dari tempat pemungutan suara.
Jika calon yang diusung merupakan buah dari proses konflik yang panjang, maka dampaknya akan berpengaruh pada tata kelola pemerintahan. Sehingga buah dari konflik itu adalah masyarakat sendiri. Tidaklah mungkin suatu pelayanan publik akan maksimal bagi rakyat jika kepala daerahnya terus dilanda konflik.(*)